![](https://i0.wp.com/intelmedia87.my.id/wp-content/uploads/2024/03/komisioner-komnas-perempuan-siti-aminah-tardi-dan-komisioner-komnas-ham-anis-hidayah-rumondang-naibahodetikcom6730536279346664590.jpeg?resize=600%2C450&ssl=1)
Jakarta – Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan aturan turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Harapannya, agar penerapan UU TPKS lebih maksimal.
Desakan itu bukan tanpa alasan, belum adanya aturan turunan atau peraturan pelaksana undang-undang ini kerap menjadi alasan terhambatnya penerapan UU TPKS di berbagai kasus.
Sebagai informasi, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI) telah mengesahkan UU TPKS pada 9 Mei 2022. Adapun batas akhir penetapan peraturan pelaksana dari UU TPKS adalah dua tahun sejak diundangkan, yakni 9 Mei 2024.
Pemerintah diminta untuk segera mengesahkan aturan turunan undang-undang tersebut untuk menyempurnakan regulasi dalam pencegahan, penanganan, hingga pemulihan hak-hak korban.
Koordinator Sub-Komisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah menuturkan, pihaknya akan bersurat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait hal itu. Sebab, menurut dia, kebutuhan aturan turunan terbilang mendesak, mengingat makin banyaknya kasus kekerasan yang menyasar anak, perempuan, dan kaum disabilitas.
“Mengingat urgensinya, kasus terus bertambah. Kelompok rentan makin rentan mengalami kekerasan seksual,” ujar Anis dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2024).
“Sehingga kami dalam waktu dekat akan mengirimkan surat kepada Presiden meminta agar ini disegerakan untuk disahkan, sebagai bentuk dari komitmen negara dalam melindungi perempuan dari ancaman kekerasan seksual,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan desakan pengesahan aturan turunan itu sesuai dengan mandat undang-undang. Di mana, kata dia, hanya tersisa dua bulan lagi waktu pemerintah untuk mengesahkan aturan turunan UU TPKS.
“Karena kalau lewat (9 Mei 2024), pemerintah melanggar undang-undang. Kalau nggak disahkan berarti melanggar UU TPKS,” kata Aminah.
Diketahui, baru ada satu dari tujuh aturan turunan yang berhasil disahkan, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2024. Aturan itu membahas tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan serta Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Perpres ini baru disahkan pada Januari 2024 lalu. Sementara enam aturan turunan atau peraturan pelaksana UU TPKS lainnya hingga kini belum disahkan.
Implementasi UU TPKS Terhambat
Ketiadaan aturan turunan UU TPKS membuat pelaksanaannya kerap mengalami hambatan. Anis menerangkan banyak catatan terkait hambatan implementasi UU TPKS dalam berbagai penanganan kasus.
Salah satunya, kata dia, mengenai perspektif aparat penegak hukum (APH) dan upaya penegakan hukumnya. Menurutnya, aparat sering kali belum terlalu memahami substansi UU TPKS.
“Jadi dalam banyak kesempatan aparat penegak hukum itu selalu menyatakan bahwa karena aturan turunan undang-undang TPKS belum tersedia, maka kemudian itu selalu menjadi landasan kasus-kasus TPKS itu diproses menggunakan ketentuan lain. Misalnya KUHP, UU Perlindungan Anak dan undang-undang lain yang relevan,” terangnya.
Padahal, lanjut dia, perspektif lain tersebut belum efektif digunakan, selama aturan turunan belum tersedia. Menurutnya, hal itu menjadi hambatan cukup besar dalam pelaksanaan undang-undang TPKS.
“Karena dalam studi barometer gender itu memperlihatkan 57 persen kasus TPKS diselesaikan dengan menggunakan restorative justice. Padahal jelas pada Pasal 23 UU TPKS, bahwa kasus TPKS itu harus diselesaikan dengan absolute judicial mechanism atau pendekatan hukum,” jelasnya.
Ditambah, ujar Anis, dalam proses pembuktian pun kerap tak maksimal. Alasannya sering kali perihal keterangan ahli maupun pembuktian ilmiah yang sulit didapat.
“Beberapa kasus yang pernah dipantau oleh Komnas HAM (APH) itu mengatakan ‘kalau kami tidak ada bukti yang cukup kami tidak bisa bekerja’. Padahal di situlah harusnya bagian dari tugas utama aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian untuk memastikan bagaimana pembuktian kasus TPKS itu bisa dilakukan dengan optimal,” ujar dia.
Eksplorasi konten lain dari Independen Telekomunikasi 87
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.